Kemarin saat di Makassar, kami sempat bertemu dengan seorang ikhwan yang muallaf, sejak 2010 (kalau tidak salah). Saat ini ia menjadi seorang hafizh Al-Qur’an, suaranya merdu dan enak sekali didengar.
Namun sayangnya, tentang ibunya ia cerita masih belum masuk Islam. Kami cuma doakan saja, moga ibunya bisa masuk Islam dengan segera. Ia katakan juga bahwa ibunya sebenarnya sudah percaya bahwa Yesus itu bukan Tuhan. Cuma karena pihak keluarga ibunya saja yang mungkin membuat ortunya belum bisa bersyahadat.
Apakah mungkin seorang anak muslim bahkan hafizh, orang tuanya itu kafir? Apa mencacati anaknya yang hafizh tadi dengan keadaan orang tua seperti itu?
Coba renungkan sendiri pada Nabi kita Muhammad dari dalil-dalil yang berbicara. Lihat juga keluarga para nabi lainnya. Ada Nabi yang istri dan anaknya kafir. Ada Nabi yang bapaknya kafir. Apakah mencacati ia sebagai seorang Nabi? Apalagi kalau seorang Nabi seperti Nabi Muhammad memiliki orang tua yang belum sempat beliau dakwahi.
Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth Kafir
Allah Ta’ala berfirman,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam).” (QS. At-Tahrim: 10)
Anak Nabi Nuh Kafir
Allah Ta’ala berfirman,
وَقِيلَ يَأَرْضُ ابْلَعِي مَآءَكِ وَيَسَمَآءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَآءُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيّ وَقِيلَ بُعْداً لّلْقَوْمِ الظّالِمِينَ * وَنَادَى نُوحٌ رّبّهُ فَقَالَ رَبّ إِنّ ابُنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنّ وَعْدَكَ الْحَقّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ * قَالَ يَنُوحُ إِنّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِـي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنّيَ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim“. Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Huud : 44-46)
Ayah Nabi Ibrahim (Azar) Kafir
Dalam ayat disebutkan,
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلاّ عَن مّوْعِدَةٍ وَعَدَهَآ إِيّاهُ فَلَمّا تَبَيّنَ لَهُ أَنّهُ عَدُوّ للّهِ تَبَرّأَ مِنْهُ إِنّ إِبْرَاهِيمَ لأوّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun” (QS. At-Taubah: 114).
Orang Tua Nabi Muhammad Dibicarakan dalam Al-Qur’an
Dalam ayat disebutkan,
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah : 113).
Kalau kitas telusuri ayat di atas ternyata membicarakan tentang orang tua Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abi Hatim dalam kitab tafsirnya menyebutkan, telah menceritakan kepadaku bapakku, telah menceritakan kepadaku Khalid bin Khadasy, telah menceritakan padaku ‘Abdullah bin Wahb, dari Ibnu Juraij, dari Ayyub bin Hani’, dari Masruq, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke daerah pekuburan. Kami pun mengikuti beliau. Sesudah sampai, beliau duduk di samping sebuah kubur. Beliau berbicara (dengan lirih), kemudian beliau menangis. Kami pun menangis karena mengikuti beliau menangis. ‘Umar bin Al-Khattab lantas berdiri. ‘Umar berbicara pada Nabi dan Nabi pun berbicara pada kami.
Nabi berkata, “Apa yang membuat kalian menangis?”
Para sahabat lantas menjawab, “Kami menangis lantaran engkau menangis.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
إِنَّ القَبْرَ الَّذِي جَلَسْتُ عِنْدَهُ قَبْرُ آمِنَة، وَإِنِّي اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي زِيَارَتِهَا فَأَذِنَ لِي
“Perlu diketahui bahwa kubur yang aku duduk di sampingnya adalah kubur Aminah (ibuku). Aku meminta izin pada Rabbku untuk diperbolehkan menziarahi kubur ibuku. Lantas aku diizinkan.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
وَإِنِّي اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي الدُّعَاءِ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِي
“Aku meminta izin pada Rabbku untuk mendo’akan ibuku, namun aku tidak diizinkan.”
Lalu turunlah ayat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat At-Taubah ayat 113 yang telah disebutkan di atas,
مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ…
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), ….” (QS. At-Taubah : 113). (HR. Ibnu Abi Hatim. Sanad dan matan hadits dekat seperti itu. Dalam riwayat ini terdapat Ayyub bin Hani’, ia adalah perawi yang shaduq, namun lemah hafalannya sebagaimana disebutkan dalam At-Taqrib. Namun hadits ini memiliki syawahid atau penguat. Lihat tahqiq Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 358)
Orang Tua Nabi Muhammad Di Mana?
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa ada seseorang yang bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَيْنَ أَبِي؟
“Wahai Rasulullah di mana tempat kembali bapakku?”
فِي النَّارِ
“Di neraka.”
Ketika orang tersebut berpaling, Rasul memanggilnya lantas berkata,
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّار
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim, no. 203)
Dari hadits di atas kita bisa mengambil beberapa faedah yang kami sarikan dari penjelasan Imam Nawawi:
1- Siapa saja yang mati dalam keadaan kafir, maka ia berada di neraka dan tak bermanfaat hubungan keluarga dekat.
2- Dalam hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa siapa yang mati pada masa fatrah (masa kosong di antara dua nabi) dan saat itu ada kebiasaan orang-orang Arab menyembah berhala, maka ia dihukumi sebagai penduduk neraka. Bukan berarti di masa itu mereka tidak mendapatkan dakwah. Bahkan dakwah dari Nabi Ibrahim dan para nabi lainnya sudah ada.
3- Ini menunjukkan cara bergaul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat baik. Kalau orang tua Nabi Muhammad sendiri dinyatakan di neraka dan itu memang terasa berat bagi beliau. Orang tua dari orang yang bertanya pun demikian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungkapkan “ayahku dan ayahmu di neraka” menunjukkan bahwa beliau merasa senasib dengannya dalam musibah.
Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bab: Penjelasan mengenai orang yang di atas kekafiran tempatnya di neraka. Syafa’at dan hubungan kerabat dekat tidaklah bermanfaat untuknya.” (Syarh Shahih Muslim, 3: 70).
Hadits yang Tidak Jelas dan Lemah
Sebenarnya kalau mau melihat berita-berita yang menyatakan tidak kafirnya orang tua nabi dan selamatnya mereka karena di atas iman adalah berdasarkan pemahaman yang tidak jelas. Karena berita tersebut berasal dari hadits bermasalah.
Penulis kitab ‘Aunul Ma’bud menyatakan,
“Hadits-hadits yang menyebutkan berimannya orang tua Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selamatnya mereka, semuanya adalah hadits yang mawdhu, dusta dan tidak benar. Sebagian hadits tersebtu dha’if jiddan (sangat lemah). Menurut kesepatan ulama pakar hadits, hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sama sekali. Alasan mawdhu’ (berisi perawi pendusta) dinyatakan oleh Ad-Daruquthni, Al-Jauzaqani, Ibnu Syahin, Al-Khatib, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Nashir, Ibnul Jauzi, As-Suhaili, Al-Qurthubi, Ath-Thabari, Fath Ad-Diin bin Sayyid An-Naas, Ibrahim Al-Halabi dan ulama lainnya.” (‘Aun Al-Ma’bud, 12: 358)
Lemahnya Pendapat Imam Suyuthi rahimahullah
Al-‘Azhim Abadi, penulis ‘Aun Al-Ma’bud menyatakan dalam rangka membantah perkataan Imam As-Suyuthi yang menyatakan tidak kafirnya orang tua Nabi,
“Asy-Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi telah menyelisihi para hufazh (pakar hadits) dan para ulama muhaqqiqin. Beliau menyatakan bahwa orang tua nabi mati dalam keadaan beriman dan selamat. Bahkan Imam Suyuthi sampai menulis beberapa risalah untuk mendukung hal ini. Di antara risalah tersebut berjudul “At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Anna Abaway Rasulillah fi Al-Jannah” yaitu pengagungan dan karunia yang membuktikan kedua orang tua Rasulullah berada di surga.”
Al-‘Azhim Abadi menyatakan, “Al-‘Alamah As-Suyuthi terlalu bergampang-gampangan dalam masalah ini. Pendapat beliau tak perlu dianggap. Karena perkataan beliau telah menyelisihi pendapat ulama yang lebih mumpuni.” (‘Aun Al-Ma’bud, 12: 358)
Telah Ada Ijma’
Bahkan telah ada ijma’ dari para ulama akan keadaan orang tua Nabi Muhammad.
Ibnul Jauzi berkata,
وأما عبد الله فإنه مات ورسول الله صلى الله عليه وسلم حمل ولا خلاف أنه مات كافراً، وكذلك آمنة ماتت ولرسول الله صلى الله عليه وسلم ست سنين
”Adapun ’Abdullah (ayah Nabi), ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam masih berada dalam kandungan, dan ia mati dalam keadaan kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Begitu pula Aminah (tentang kekafirannya tanpa ada khilaf), di mana ia mati ketika Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam berusia enam tahun.” (Al-Mawdhu’at, 1: 283).
Al-’Allamah ’Ali bin Muhammad Sulthan Al-Qaari telah menukil adanya ijma’ tentang kafirnya kedua orang tua Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dengan perkataannya :
وأما الإجماع فقد اتفق السلف والخلف من الصحابة والتابعين والأئمة الأربعة وسائر المجتهدين على ذلك من غير إظهار خلاف لما هنالك والخلاف من اللاحق لا يقدح في الإجماع السابق سواء يكون من جنس المخالف أو صنف الموافق
”Adapun ijma’, maka sungguh ulama salaf dan khalaf dari kalangan shahabat, tabi’in, imam empat, serta seluruh mujtahidin telah bersepakat tentang hal tersebut (kafirnya kedua orang tua Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam) tanpa adanya khilaf. Jika memang terdapat khilaf setelah adanya ijma’, maka tidak mengurangi nilai ijma’ yang telah terjadi sebelumnya. Sama saja apakah hal itu terjadi pada orang-orang menyelisihi ijma’ (di era setelahnya) atau dari orang-orang yang telah bersepakat (yang kemudian ia berubah pendapat menyelisihi ijma’) (Adilltaul-Mu’taqad Abi Haniifah hlm. 7. Download dari www.alsoufia.com)
Silakan Simpulkan
Setelah membaca tulisan ini, Anda kami yakin cerdas bisa menyimpulkan manakah pendapat yang benar. Ingin menerima hadits dari Nabi sendiri atau ingin menerima pendapat yang tidak berdasar?
Silakan menyimpulkan.
Allahumma inna nas-aluka ’ilman naafi’a, Ya Allah kami meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat.
Referensi:
Al- Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
’Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Cetakan pertama, tahun 1430 H. Al-’Azhim Abadi. Penerbit Darul Fayha’.
Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2008/06/kafirkah-kedua-orang-tua-nabi-sebuah.html
—
@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 27 Syawal 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam